Berita LPPI dan Liputan

Virtual Seminar #28 : Peran Infrastruktur ICT Dalam Masa Pandemi

09-10-2020
Virtual Seminar #28 : Peran Infrastruktur ICT Dalam Masa Pandemi

Lembaga Pengembagan Perbankan Indonesia (LPPI) kembali menggelar virtual seminar seri 28 dengan tema “Peran Infrastruktur ICT Dalam Masa Pandemi.” Virtual seminar kali ini menghadirkan Keynote Speech Dr. Ismail M.T, Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informasi; Merza Fachys, Presiden Direktur Smartfren Telecom; Boyke Yurista, Presiden Direktur PT Jalin Pembayaran Nusantara; Julita Indah, Direktur Digital Solutions and Business Development PT Indonesia Comnet Plus.

Menurut Dirjen SDPPI Kominfo Ismail, pandemi Covid-19 telah membentuk tatanan baru dalam masyarakat dan mempercepat proses digitalisasi. “Pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi kita semua untuk melakukan akselerasi transformasi digital. Adanya pandemi Covid-19 juga sudah berhasil untuk mengubah struktur aktivitas dan kebiasaan kita saat ini,” paparnya.

Dia mencontohkan beberapa proses perubahan tersebut, seperti proses belajar dan mengajar antara siswa dan pengajar di ruang kelas berpindah ke ruang belajar digital, work from home bagi karyawan atau pekerja, telemedicine di sektor kesehatan, sampai akselerasi menuju industri 4.0 di beberapa perusahaan manufaktur.

Setiap proses transformasi digital tersebut, katanya, selalu terjadi dalam 3 tahap: pertama digitasi. Disini terjadi konversi konten ke format digital.  Misalnya pengiriman dokumen secara online dan pengiriman data online. Kedua, digitalisasi. Tahap ini menggunakan  Information and Communication Technology  (ICT) atau Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam proses bisnis untuk mendapatkan benefit dari konten yang telah terdigitasi dan transformasi digital. Ketiga, proses transformasi digital yakni transformasi bisnis yang diperoleh dari konten yang telah terdigitasi dan perubahan kemampuan yang cepat. Contohnya, pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) untuk
percepatan perizinan, pemanfaatan AI untuk demand forecasting/inventory planning dalam rantai produksi dan Big Data untuk pengambilan keputusan. 

“Ketiga tahapan itu sudah banyak dilakukan oleh berbagai perusahaan, termasuk sektor jasa keuangan, perbankan, yang memanfaatkan ICT untuk memperluas daya jangkau pasarnya,” ujarnya.

Namun, untuk melakukan itu semua, dibutuhkan infrastruktur yang merata, terjangkau dan berkualitas dengan cara membangun jaringan backbone, middle-mile, dan last-mile. 

Jaringan backbone yang sudah dibangun saat ini adalah melalui fiber optic backbone. Saat ini sudah dibangun jaringan backbone serat optik nasional sepanjang 348.442 kilometer yang terbentang di daratan dan lautan Nusantara. Sebanyak 12.148 kilometer diantaranya merupakan jaringan Palapa Ring (Palapa Ring paket Barat, paket Tengah dan paket Timur) yang dibangun oleh BLU BAKTI (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi) Kementerian Kominfo, dan 336.294 kilometer dibangun oleh operator telekomunikasi di Indonesia.

Sedangkan jaringan middle-mile, pemerintah terus meningkatkan pembangunan infrastruktur melalui pembangunan jaringan fiber-link, microwave-link, dan satelit. 

Adapun di jaringan last-mile, saat ini Indonesia memiliki 479.125 Base Transceiver Station (BTS) yang dibangun Kemenkominfo bersama operator seluler untuk mendukung jaringan mobile broadband (Jaringan 2G, 3G, dan 4G. Jaringan 5G dalam pengembangan). Pemerintah melalui Kemenkominfo menargetkan pada akhir tahun 2022, seluruh seluruh kelurahan/desa di Indonesia telah memiliki akses ke jaringan 4G.

Saat ini, dari 83.218 kelurahan/desa yang ada, sebanyak 70.670 di antaranya telah tercakup dalam jaringan telekomunikasi. Sementara, 12.548 kelurahan/desa belum tercakup, terdiri dari 9.113 kelurahan/desa di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) dan 3.435 daerah non-3T.

Ismail mengatakan, berdasarkan Undang-Undang (UU) No 36/1999 tentang Telekomunikasi, pembangunan infrastruktur sebetulnya dilakukan oleh operator. Namun, kata dia, pemerintah menyadari bahwa banyak kendala bagi operator untuk membangun infrastruktur telekomunikasi di daerah terpencil, mulai dari kurangnya infrastruktur dasar, kepadatan penduduk yang tak memadai, yang berujung pada tingginya investasi dan tidak memadainya penghasilan yang didapatkan.

"Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah memutuskan menggunakan APBN untuk mendanai pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang dibutuhkan," ungkap Ismail.

Begitu halnya dengan kesiapan Indonesia memasuki jaringan 5G. Layanan 5G juga tidak terlepas dari infrastruktur jaringan optik sebagai penentu kekuatan sistem yang dibangun oleh operator. "Jangan sampai 5G rasa 4G,” kata Ismail. 

Menurut dia, hal ini merupakan tugas berat mengingat pemerintah juga harus membangun infrastruktur telekomunikasi di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) Indonesia. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah, serta operator berperan penting dalam membangun ekosistem 5G. “Kita akan menuju 5G karena ini evolusi teknologi yang tak bisa dihindari di masa depan,” tuturnya.

Di samping itu, bersama dengan operator telekomunikasi, pihaknya juga terus mendorong pemerataan jaringan fixed broadband, termasuk juga optimalisasi penggunaan satelit untuk penuntasan infrastruktur last-mile.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia  (ATSI) Merza Fachys menyebutkan, pembangunan infrastruktur yang efisien menjadi salah satu kunci peningkatan infrastruktur digital, yang merupakan tugas penyelenggara jaringan internet dan telekomunikasi, dalam upaya percepatan transformasi digital.

“Infrastruktur telekomunikasi dan seluruh ecosystem-nya adalah platform utama, landasan pacu serta mesin pendorong yang akan membawa bangsa dan negara Indonesia melesat meraih kemajuan melalui transformasi digital,” papar Merza yang juga Presiden Direktur PT Smartfren Telecom, Tbk.

Selain itu, katanya, masih banyak jaringan telekomunikasi yang masih harus digelar untuk menyediakan akses internet bagi 100 persen penduduk Indonesia. Untuk itu, perlu adanya kemudahan-kemudahan regulasi serta insentif bagi para penyelenggara telekomunikasi.

Akan halnya kehadiran jaringan 5G di Indonesia, menurutnya sudah makin mendesak, namun kesiapan infrastruktur pendukung masih belum available. “Ketersediaan jaringan fiber optic dan spektrum frekuensi yang cukup adalah prasyarat utama,” tegasnya.

Sedangkan menurut Direktur Utama PT Jalin Pembayaran Nusantara Boyke Yurista, menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi sistem pembayaran layanan keuangan berbasis teknologi informasi dan jaringan 5G. “Bukan sekadar mengubah behavior, tapi juga mengubah mobility behavior-nya. Kita lihatnya bukan industri mana yang diuntungkan, tapi bagaimana kolaborasi antar industri lewat koneksi jaringan. Misalnya financial services dengan supermarket atau toko baju,” katanya mencontohkan.

Sedangkan menurut Julita Indah, Direktur Digital Solutions and Business Development PT Indonesia Comnet Plus (ICON+), hadirnya  jaringan 5G yang memerlukan fiber optic 16 kali lebih banyak,
semakin menambah tantangan infrastruktur fixed broadband di Indonesia.

Di sisi lain, anak usaha PT PLN (persero) ini, dengan kekuatan 15 juta tiang PLN sanggup menjadi site hosting perangkat 5G. “Dengan dukungan PLN sebagai Perusahaan dengan infrastruktur terbesar di Indonesia, ICON+ dapat melakukan perkuatan tiang dan penyediaan listrik,” paparnya.