Indonesia Financial Sector Outlook 2021
Sektor keuangan merupakan salah satu industri yang paling terdampak dari krisis kesehatan akibat Covid-19 yang kini mulai bertransformasi menjadi krisis ekonomi. Hingga sekarang upaya untuk memutus rantai akibat dari merebaknya virus tersebut masih belum membuahkan hasil. Namun demikian pelaku industri keuangan non bank dituntut untuk tanggap dengan segala kemungkinan meskipun itu masih berupa prediksi. Kemampuan melihat peluang dan tantangan bisnis sekaligus kemampuan memitigasi risiko merupakan prasyarat mutlak yang harus dimiliki oleh para pengambil keputusan.
Diperkirakan tahun depan, kondisi ekonomi belum akan lebih baik dari keadaan tahun ini, setelah Covid-19 menempatkan perekonomian banyak negara kepada resesi. Krisis ekonomi yang berbarengan dengan disrupsi digital membawa banyak perubahan terhadap praktik-praktik bisnis. inilah tantangan sekaligus peluang dari para pelaku industri keuangan non bank yang harus dihadapi dan dimanfaatkan tahun depan.
Direktur Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Togar Pasaribu mengatakan pandemi Covid-19 memang memaksa perusahaan melakukan model atau cara bisnis yang sangat berbeda sebelum pandemi melanda. “Mau tidak mau, suka atau tidak suka, penggunaan teknologi informasi dan proses digitalisasi dimanfaatkan seluas-luasnya. Sebenarnya di industri asuransi jiwa sudah lama melakukan (digitalisasi) seperti yang dilakukan para leader dan agen asuransi di lapangan. Tapi dalam hal penjualan polis, perhitungan premi dan pembayaran klaim belum banyak menggunakan teknologi digital,” paparnya dalam virtual seminar Indonesia Financial Sector Outlook (IFSO) 2021 bertema “Paving The Way to The New Future of Non-Bank Industry” yang diselenggarakan Majalah Stabilitas, Kamis (27/10).
Menurutnya, saat ini perusahaan asuransi jiwa belum memulai tanda-tanda digitalisasi. Terlebih, karena asuransi jiwa masih menggunakan agen asuransi dalam mendistribusikan produk-produknya. Sementara itu, karena Corona melanda, promosi secara tatap muka mulai berkurang. Alhasil, di tahun 2020, jumlah premi asuransi berangsur turun hingga minus 2 persen.
Togar berharap, perusahaan asuransi dapat lebih mengambil celah dalam memanfaatkan situasi Covid-19. Terlebih, karena beberapa negara sudah mulai menerapkan pelayanan digital. Misalnya di Korea Selatan yang sudah menggunakan robot dalam pengambilan klaim. Lalu di Amerika Serikat, perusahaan asuransi jiwa di sana sudah memanfaatkan fitur voice recognition. “Lewat keberadaan fitur-fitur secara digital ini, paling tidak pelayanan asuransi dapat berangsur cepat. Dalam 30 menit, uang klaim sudah bisa masuk ke pemegang polis," papar Togar.
Togar melanjutkan, perusahaan asuransi jiwa saat ini perlu melakukan sejumlah otomatisasi sebagai bentuk adaptasi dari digitalisasi. Otomatisasi dalam pelayanan asuransi memiliki banyak keunggulan, salah satunya adalah meminimalisir terjadinya dispute ataupun over promise dari perusahaan asuransi.
Togar memprediksi, sampai akhir 2020 industri asuransi jiwa masih akan tetap tumbuh dan masih akan tetap berjuang meski PSBB sudah tidak dilakukan seketat sebelumnya di tahun mendatang. Di 2021 pihaknya channel distribution akan lebih bervariasi. “ Yang harus juga dipahami, walau vaksin nantinya akan ada di Indonesia, Covid-19 tidak akan hilang dan kita akan terbiasa seperti halnya menghadapi flu atau pilek,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, praktisi asuransi jiwa, Iwan Pasila juga menyetujui bahwa penting bagi asuransi jiwa melakukan transformasi digital. Namun demikian, keberadaan transformasi juga harus dibarengi dengan mempertajam kompetensi karyawan.
"Mengubah model bisnis tidak segampang menghapus dan menggambar di kertas. Karena, kita perlu menemukan orang-orang yang bisa berpikir jauh ke depan dan tentunya paham dengan digital. Seperti kemampuan kapabilitas infrastruktur IT yang tentunya harus awas dengan perubahan digital," kata Iwan.
Oleh karena itu, transformasi digital sangat krusial untuk napas perusahaan asuransi jiwa. Selain karena efisien, digitalisasi dapat membuat pelayanan asuransi menjadi lebih transparan dan meminimalisir misinformasi.
Ke depan, Iwan memprediksi semua bisnis maupun organisasi, termasuk industri asuransi tidak akan kembali ke masa yang sama seperti sebelumnya dan memang seharusnya tidak kembali.
“Karena masanya sudah berubah dan kita didorong untuk melakukan efisiensi ke depan. Bagaimana cara operasional, cara melayani pelanggan ke depan, harus berubah supaya efisien dan tidak tertinggal oleh kompetitor. Ini perlu cara yang tepat. Salah satunya lewat digitalisasi, meningkatkan kapasitas karyawan karena pasarnya juga berubah,” tegas Iwan.