Virtual Seminar #26 : Merger & Acquisition in Indonesia: Shapping The New Future of Financial Industry Sesi 2
Hari ini, Majalah Stabilitas-LPPI membahas strategi M&A di industri jasa keuangan Tanah Air ini dalam sebuah virtual seminar seri ke-26 yang bertajuk “Merger & Acquisition in Indonesia: Shapping The New Future of Financial Industry.” Virtual seminar yang merupakan sesi hari kedua ini menghadirkan Benny Waworuntu, Direktur Kepatuhan Mandiri Axa General Insurance; Wiljadi Tan, Partner RSM Indonesia; B. Bawono Kristiaji, Partner, Research & Training Services DDTC; dan Freddy Karyadi, Counsellors at ABNR Law Office.
Benny mengatakan, bahwa dalam landscape industri asuransi di Indonesia, saat ini ada 60 perusahaan asuransi jiwa (termasuk 22 unit usaha asuransi syariah), 77 asuransi umum (termasuk 24 unit asuransi syariah), 6 perusahaan reasuransi dan asuransi syariah stand alone (7 asuransi syariah, 6 asuransi umum dan 1 reasuransi).
Kondisi tersebut, menurut Benny Woworunto, membuat pasar asuransi di Indonesia masih punya potensi besar dan kompetitif. “Dengan 250 juta penduduk, baru 3,5 persen market pasar asuransi di Indonesia,” kata Benny.
Namun, seperti halnya industri perbankan, industri asuransi juga punya aturan yang ketat (high regulated). Menurut Benny, isue-isue yang berkembang di seputar industri asuransi adalah masalah tata kelola (good corporate governance/GCG), janji imbal balik produk (Guaranteed Return Product), pola permintaan komisi yang besar (Excessive Commission) dan masalah keuangan (Financial Soundness ) apalagi di masa pendemi seperti sekarang ini.
Masalah lain yang saat ini menjadi isue di industri asuransi adalah wacana adanya Lembaga Penjamin Polis. “ Ini juga sie penting karena dengan adanya lembaga itu, bukan hanya memberi rasa aman dan nyaman kepada nasabah atau pemegang polis, tapi juga kepada perusahaan asuransi itu sendiri,” jelasnya.
Terkait dengan proses merger dan akuisisi (M&A), industri asuransi mengacu kepada beberapa aturan. Mulai dari undang-undang asuransi itu sendiri dan aturan turunannya, juga UU perseroan terbatas (PT), peraturan ketenagakerjaan, pajak dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena belakangan ini banyak perusahaan asuransi diminati oleh investor asing. Bahkan beberapa di antaranya sudah melakukan proses merger dan akuisisi, seperti PT Mandiri AXA Genernal Insurance.
Apa motif dan ketertarikan pemageng saham dan investor untuk melakukan M&A? Benny menjelaskan, stidaknya ada 4 faktor. Pertama, dilihat dari business operational & customer protection. Kedua, aspek finasial (Asset Liability Management, Previous liability & receivables, Financial Report post integration, Integration cost dan Brand). Ketiga, people (seperti keinginan karyawan dan budaya kerja). Keempat, legal issues & reputation (perjanjian dengan pihak ketiga, persetujuan regulator/OJK, rekomendasi audit harus diselesaikan sebelum integrasi atau setelah integrasi, komunikasikan dengan karyawan dan distributor serta formalistas lain seperti pajak).
Legalitas & Perpajakan Proses M&A
Aspek perpajakan juga menjadi hal yang menarik dalam proses M&A. Alasannya, kata Bawono Kristiaji, karena dari aspek legalitas, aturan di Indonesia selalu berubah-ubah. Kedua, ada area sengketa di proses tersebut. Ketiga, keterkaitan dengan omnibuslaw yang berkaitan dengan perpajakan.
Terkait dengan perpajakan di proses M&A, setidaknya ada transfer tax (PPN, PPh Final 4 ayat 2 dan BPHTB) dan keuntungan atas selisih aktiva yang merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh).
Setiap pengalihan aktiva atau harta berupa tanah dan bangunan akan dikenakan PPh final
dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). “Demikian juga, apabila
pengalihan dilakukan dalam rangka merger perusahaan,” jelas Bowono.
PPh final yang dikenakan adalah sebesar 5% dari harga jual sedangkan untuk BPHTB dikenakan tarif 5% dari nilai jual kena pajak – selisih antara harga jual dengan nilai jual objek pajak tidak kena pajak. Atas keuntungan yang diterima perusahaan dalam rangka merger, merupakan objek PPh sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 UU PPh, dimana yang termasuk dalam pengertian penghasilan adalah keuntungan karena pengalihan harta termasuk keuntungan karena likuidasi, penggabungan (merger), peleburan, pemekaran atau pemecahan. Sehingga, atas keuntungan tersebut akan dikenakan tarif pasal 17 UU PPh.
Persoalan muncul ketika ada opsi penggunaan nilai buku dalam merger. Kenapa? Menurutnya ada dua metode pencatatan akuntasi dalam transaksi merger, yaitu metode nilai pasar dan metode nilai buku. “Prinsip nilai pasar adalah adanya sejumlah kas atau harga pasar aktiva lain yang dikeluarkan untuk membeli suatu perusahaan sudah termasuk didalamnya biaya goodwill, selisih antara biaya perolehan dengan harga pasar. Sedangkan, pada nilai buku aktiva bersih hasil merger langsung dibukukan sesuai nilai bukunya, sehingga tidak terdapat biaya goodwill dan kenaikan nilai aktiva,” papar Bawono.
Soal legalitas lainnya dalam proses M&A, kata Freddy Karyati, yang perlu dipersiapkan adalah sebelum integrasi dilakukan, mulai dari persetujuan dari otoritas sampai kreditur. Juga sesudahnya. Misalnya mengumumkan di koran sehingga stakeholder termasuk KPPU menjadi aware. “Bukan menghilangkan perjanjian, tapi lebih ke aturan PT, bisa mengajukan keberatan. KPPU juga bisa memetakan yang baru tentang persaingan usaha,” papar Freddy.
Hal lain yang penting dalam proses M&A adalah konsolidasi dari perusahaan yang merger atau akuisisi tersebut. Karena menurut Wiljadi Tan, dalam banyak literatur disebut sebagian besar merger dan akuisisi di dunia gagal dalam proses konsolidasinya.
“Dari pengalaman kami lakukan membantu proses M&A baik di Indonesia maupun regional, selalu ada benang merahnya. Yang berhasil karena sinerginya menciptakan shareholder value. Butuh 1-2 tahun baru keliatan sinergi tersebut sehingga tercipta rumus satu plus satu sama dengan tiga. Lalu, setelah konsolidasi, jangan berharap proses itu sudah selesai. Sinergi itu harus teralisasi,” tegasnya.