Virtual Seminar #27 : Industri Asuransi Umum & Reasuransi - Meningkatkan Penetrasi Seraya Menjaga Kedaulatan Neraca Jasa
Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) kembali mengadakan virtual seminar tentang Industri Asuransi Umum dan Reasuransi bertajuk “Meningkatkan Penetrasi Seraya Menjaga Kedaulatan Neraca Jasa.”
Virtual seminar seri ke-27 ini menghadirkan pembicara kunci Riswinandi, Anggota Dewan Komisioner OJK. Selain itu ada pembicara lain yakni Rianto, Pengawas Eksekutif OJK; Jenry Cardo Manurung, Wakil Ketua AAUI; Enny, Presiden Direktur PT Mandiri AXA General Insurance (MAGI); Adi Pramana, Presiden Direktur PT TuguRe; Didit Mehta Pariadi, Direktur Utama PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero); Adi Setyanto, Direktur Kepatuhan PT Bri Asuransi Indonesia; dan Toto Pranoto, Komisaris Utama PT Reasuransi Nasional Indonesia.
Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) kembali mengadakan virtual seminar tentang Industri Asuransi Umum dan Reasuransi bertajuk “Meningkatkan Penetrasi Seraya Menjaga Kedaulatan Neraca Jasa.”
Virtual seminar seri ke-27 ini menghadirkan pembicara kunci Riswinandi, Anggota Dewan Komisioner OJK. Selain itu ada pembicara lain yakni Rianto, Pengawas Eksekutif OJK; Jenry Cardo Manurung, Wakil Ketua AAUI; Enny, Presiden Direktur PT Mandiri AXA General Insurance (MAGI); Adi Pramana, Presiden Direktur PT TuguRe; Didit Mehta Pariadi, Direktur Utama PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero); Adi Setyanto, Direktur Kepatuhan PT Bri Asuransi Indonesia; dan Toto Pranoto, Komisaris Utama PT Reasuransi Nasional Indonesia.
Menurut Riswinandi, defisit neraca perdagangan dari industri asuransi sampai 2019, nilainya mencapai Rp9,2 triliun, dari nilai outflow transaksi asuransi ke luar negeri mencapai Rp11,12 triliun, berbanding inflow reasuransi luar negeri ke dalam negeri Rp1,9 triliun.
“Defisit tersebut tidak lepas dari kontribusi industri asuransi, karena juga melibatkan asuransi dalam negeri dan luar negeri, termasuk reasuransi. Hal ini juga dipengaruhi oleh dinamikan perdagangan internasional, khususnya perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat,” kata Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK ini.
Akan tetapi, kondisi perdagangan internasional membuat dukungan khusus terhadap reasuransi domestik semacam ini tak lagi relevan, sehingga OJK menyesuaikan keadaan yang ada dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 39 Tahun 2020 pada akhir Juni 2020 lalu.
"POJK 39/2020 ini terbit karena dinamika dari perdagangan internasional tadi, kita harus memberikan keleluasaan untuk meningkatkan efektivitas penyebaran risiko program reasuransi, namaun mendorong penyebaran risiko kepada reasuransi luar negeri ini dilakukan secara bertahap," terangnya.
Relaksasi ini akan dilakukan secara bertahap, yakni mengurangi dukungan reasuransi dan reasuradur dalam negeri hingga 50 persen sampai akhir 2020 untuk jenis risiko sederhana, dan sampai 2022 untuk jenis risiko nonsederhana.
Meski begitu, OJK tetap mengatur batasan relaksasi terhadap dukungan reasuransu luar negeri, yaitu hanya dapat diberikan dalam hal dukungan reasuransi diperoleh dari reasuratur luar negeri yang berdomisili di negara mitra yang memiliki perjanjian bilateral dengan Indonesia.
"Oleh karena itu, perusahaan asuransi umum dan reasuransi domestik perlu meningkatkan kemandirian dalam hal peningkatan daya saing perusahaan untuk dapat berkompetisi dengan para reasuradur internasional," ujar Riswinandi.
Riswinandi menambahkan, saat ini daya saing perusahaan asuransi Indonesia masih tertinggal. Jika dibandingkan di regional ASEAN, penetrasi asuransi di Indonesia masih kurang dari 2%. Angka ini masih rendah jika dibandingkan dengan penetrasi di negara ASEAN lainnya, seperti Thailand yang sudah mencapai 4,99%, Malaysia 4,72% , bahkan Vietnam 2,24%.
Apa yang menyebabkan daya saing industri asuransi, khsusnya asuransi umum dan reasuransi? Riswandi mengatakan, setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor utama. Salah satu faktornya adalah dukungan permodalan. Permodalan menjadi basis untuk menentukan kapasitas penyerapan risiko asuransi umum di dalam negeri dan reasuransi di luar negeri.
Selain itu, dalam hal perusahaan asuransi profesional khususnya yang menangani reasuransi, OJK melihat masih banyak gap yang cukup siginifikan dalam hal perbandingkan baik antara jenis perusahaan tersebut ataupun dengan perusahaan asuransi komersial (asuransi umum/asuransi jiwa).
“Ini menjadi salah satu faktor penting minimnya atensi risiko asuransi di dalam negeri dan ini tentu mengarah juga ke defisit transaksi berjalan di sektor industri asuransi. Maka dari itu, OJK mendorong konsolidasi antara pelaku industri asuransi dalam rangka membentuk perusahaan reasuransi domestik dengan dukungan kapasitas yang lebih besar agar dapat menyerap risiko asuransi secara lebih optimal dan mengurangi defisit transaksi berjalan pada industri asuransi,” ujarnya.
Di masa pandemi ini, Riswinandi berharap menjadi momentum bagi industri asuransi umum dan reasuransi untuk memanfaatkan teknologi informasi (TI) demi peningkatan daya saing industri asuransi nasional.
“Menurut penelitian AC Nielsen, pandemi telah mendorong perubahan perilaku konsumen dalam mengoptimalkan teknologi untuk memperoleh layanan jasa keuangan. Yang lebih menarik lagi sebagian besar dari responden akan mempertahankan pola transaksi tersebut pada periode mendatang. Maka, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan TI oleh pelaku usaha dalam mendukung layanan atau proses bisnis merupakan keniscayaan," jelasnya.
Namun TI juga mengadung risiko. Misalnya ketidaksesuaian penjualan produk (misselling). Menurutnya, kebanyakan kasus misselling terjadi karena perusahan asuransi memasarkan produk dengan spesifikasi relatif kompleks, sementara platform IT yang digunakan tidak dilengkapi dengan fitur optimal dalam hal interakasi kepada nasabah.
"Jika ini tidak ditangani dengan baik, maka menimbulkan risiko reputasi yang dapat merugikan industri asuransi secara keseluruhan. Terutama di tengah berbagai sentimen negatif yang menerpa industri ini selama beberapa tahun terakhir," jelasnya.
Inilah alasannya, kenapa OJK mempersyaratkan adanya pemeriksaan terhadap platform TI yang dipergunakan perusahaan asuransi ketika berminat menjual produknya secara digital, atau tanpa tatap muka dengan nasabah.
GCG, Literasi dan Penetrasi
Menyambung paparan OJK, Rianto sebagai Pengawas Eksekutif OJK mengatakan, selama periode tahun 2006 sampai dengan 2019 pemerintah (OJK) telah melakukan pencabutan 39 ijin usaha perusahaan asuransi dan reasuransi. Dari 39 perusahaan asuransi ada 25 perusahaan asuransi umum atau 64,10% yang ijin usahanya di cabut dengan alasan kesehatan keuangan dan penggabungan usaha; Sebanyak 13 perusahaan asuransi jiwa atau 33,33% yang ijin usahanya di cabut dengan alasan kesehatan keuangan dan penggabungan usaha; Terdapat 1 perusahaan reasuransi atau 2,56% yang ijin usahanya di cabut dengan alasan kesehatan keuangan dan penggabungan usaha.
“Berdasarkan data diketahui bahwa sebagian besar pencabutan ijin usaha karena kesehatan keuangan perusahaan. Kondisi ini menunjukkan GCG perusahaan adalah bagian yang harus menjadi perhatian utama perusahaan agar terus mampu tumbuh dan berkembang,” tegasnya.
Menurutnya, saat ini masih ada sejumlah perusahaan yang mendapat pengawasan ketat dari OJK atas alasan mengalami persoalan serupa. Adapun total perusahaan asuransi yang mengantongi izin dari OJK per Agustus 2020, yakni sebanyak 147 perusahaan asuransi. "Untuk asuransi jiwa posisi Agustus 2020 ada 61 perusahaan asuransi dan asuransi umum 79 perusahaan. Kemudian reasuransi ada 7 perusahaan," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Direktur PT TuguRe Adi memaparkan bahwa penetrasi asuransi non-life di Indonesia di tahun 1990 dan 2018 angkanya di kisaran sama, 0,4 persen. Artinya selama 28 tahun bergerak di titik yang hampir sama. Bandingkan dengan India di angka 1 persen, Iran dekati 2 persen dan China di 2 persen, di tahun 1990.
“Tapi kini penetrasi mereka naik, sedangkan kita tetap di angka sama di 28 tahun lalu. Kunci penetrasi asuransi non-life mereka ternyata pada ekonomi dan policy,” paparnya.
Begitu halnya dengan literasi, Indonesia hanya di angka 19,4 persen. Adi lalu membandingkan asuransi non-life di Korea Selatan (Korsel) yang angkanya menyentuh 90 persen. "Di Korea itu ada banyak yang namanya asuransi wajib atau mandatory insurance. Khususnya saat ada suatu insiden atau kecelakaan," papar Adi.
Selain itu, disana banyak professor ahli bidang asuransi ditugaskan untuk menyiapkan, berdiskusi, dan menyusun working paper tentang segala hal terkait dengan kebijakan asuransi.
"Misalnya, ada kecelakaan bus yang membawa anak-anak sekolah, mereka nanti bakal buat langsung working papernya. Dan menurut teman saya di Korsel, setidaknya ada 60 mandatory insurance atau asuransi wajib yang harus dimiliki di Korea," jelas Adi.
Adapun Indonesia juga memiliki mandatory insurance, meski tidak sebanyak di Korsel. Asuransi wajib yang masyarakat rasakan dari pemerintah contohnya BPJS Kesehatan, Jasa Raharja untuk transportasi, ataupun Kartu Jakarta Pintar untuk pendidikan.
Namun demikian, meski tingkat literasi asuransi di Indonesia cenderung jauh lebih rendah ketimbang Korsel, literasi finansialnya terpatok berbeda tipis. Jika di Korea memiliki tingkat literasi finansial sekitar kurang lebih 30 persen, di Indonesia terukur kurang lebih 35 persen. "Sehingga, kalau mau diproyeksikan tentang visi Indonesia di tahun 2045, rasanya masih mungkin," harap Adi.
Rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia berasuransi, ternyata menjadi salah satu pertimbangan investor asing masuk ke bisnis ini. Dia mencotohkan di bisnis asuransi non-life, saat ini Top 10 didominasi oleh perusahaan lokal yang dimiliki konglomerasi dan BUMN yang memiliki asset yang besar. “Pangsa pasar Top 10 sebesar 53.8%, setara dengan Rp20.2 Triliun. Di sektor retail, mayoritas dikontribusikan oleh asuransi wajib dari Multifinance atau Bank untuk KPR dan KPM,” papar Enny, Presdir MAGI.
Faktor lainnya adalah situasi pasar yang sangat kompetitif; aspek geografi Indonesia; aspek regulatory dan aspek country risk.
Sementara itu menurut Didit Mehta Pariadi, Direktur Utama Jasindo (persero), pandemi Covid-19 tidak menimbulkan risiko baru, tetapi justru memperkuat risiko yang sudah ada.
Di masa pandemi ini juga Jasindo melakukan penyesuaian Risk Appetite. “Dari agresif, menjadi lebih konsolidasi dengan mengurangi portofolio dengan risiko tinggi,” paparnya.
Di segi pemasaran, Jasindo melakukan: Marketing Intellegence; Optimalisasi biaya Marketing; Bekerja sama dengan Marketplace; Penerapan Employee Get Customer. Sedangkan di sisi layanan, dilakukan: Optimalisasi layanan digital; Lebih Aktif menjalin komunikasi dengan nasabah eksisting dan meningkatkan pemahaman nasabah melalui webinar untuk membantu permasalahan manajemen risiko dan asuransi.