Berita LPPI dan Liputan

Virtual Seminar #32 : Industri Asuransi Sosial - Antara Kemaslahatan dan Penerimaan Negara, GCG dan Kualitas Layanan.

06-11-2020
Virtual Seminar #32 : Industri Asuransi Sosial - Antara Kemaslahatan dan Penerimaan Negara, GCG dan Kualitas Layanan.

Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) hari ini, Kamis 05 November 2020, kembali menyelenggarakan Virtual Seminar ke #32 mengambil tema Industri Asuransi Sosial: Antara Kemaslahatan dan Penerimaan Negara, GCG dan Kualitas Layanan. Virsem kali ini menampilkan dua Keynote Speech yakni Suminto Sastrosuwito, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional dan Andra Sabta, Direktur Pengawasan Dana Pensiun dan BPJS Ketenagakerjaan OJK. Sementara pembicara utama adalah Wahyu Wibowo, Direktur Manajemen Risiko dan Teknologi Informasi PT Jasa Raharja serta Antonius N.S. Kosasih Direktur Utama PT Taspen. 


Sebagaimana diketahui bahwa asuransi sosial dimaknai sebagai kegiatan pengumpulan dana atau iuran yang bersifat wajib guna memberikan perlindungan sosial ekonomi yang menimpa peserta atau pihak yang berhak secara khusus. Indonesia memiliki beberapa badan penyelenggara asuransi sosial seperti PT Taspen yang didirikan 1963, PT Jasa Raharja (1965), PT Asabri (1971) dan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan yang beroperasi dengan nama baru sejak 2014, namun secara praktek sudah diselenggarakan sejak lama.


Berdasarkan data statistik OJK, sejak Desember 2019, aset Industri asuransi mencapai Rp1.371 triliun, di mana 43% di antaranya merupakan aset dari industri asuransi sosial yakni Taspen, Asabri, Jasa Raharja, BPJS TK dan BPJS kesehatan. Dalam beberapa tahun ke belakang, Aset industri asuransi sosial tumbuh 10 sampai 13 persen secara signifikan setiap tahun sejak 2017 hingga 2019. Aset dana Industri asuransi sosial tercatat Rp 473 triliun pada 2017 dan tumbuh menjadi Rp 589,9 triliun pada tahun 2019.


Suminto Sastrosuwito, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional menegaskan, program asuransi sosial ini secara prinsip merupakan upaya pemerintah memberikan perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. "Secara nominal, mungkin yang diberikan asuransi sosial dipandang masih rendah sehingga dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan, namun melihat perkembangannya, scara kualitas terus terjadi perbaikan yang nyata," tegas Suminto.
Dia mencontohkan, di tahun 2017, pemerintah menaikkan manfaat program jasaraharja sampai dua kali lipat tanpa menaikkan iuran. Akhir tahun 2019 juga berlaku pada jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian pada BPJS Ketenagakerjaan. Jaminan kesehatan nasional juga terus dilakukan dalam banyak hal terkait kedalaman manfaat, cakupan kepesertaan maupun kesinambungan program yang berlaku bagi peserta.


Selain itu, manfaat besar lain dari penyelenggaraan asuransi sosial ini adalah mendukung pendalaman dan stabilitas pasar keuangan serta alternatif pembiayaan jangka panjang. "Di banyak negara maju, salah satu faktor utama terwujudnya pendalaman dan stabilitas sektor keuangan adalah besarnya akumulasi dana dari program asuransi sosial. Ketika pasar keuangan dalam dan stabil serta banyak opsi pembiayaan jangka panjang maka banyak hal dapat dilakukan suatu negara dengan biaya yang jauh lebih efisien. Situasi tersebut menjadi modal utama menggeliatnya perekonomian dan pada akhirnya memberi kesejahteraan bagi masyarakat," jelas Suminto.
Jaga Kepercayaan. Namun demikian, Suminto mengingatkan bahwa kendati industri asuransi sosial umumnya adalah program wajib, tapi perlu digaris bawahi kepercayaan masyarakat adalah kunci penting untuk tumbuhnya asuransi sosial ini. "Beberapa kasus yang terjadi di sektor asuransi termasuk asuransi sosial tentu harus kita lihat untuk dikoreksi sehingga bisa tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat,"katanya.


Menurut Suminto, kuncinya ada pada penerapan tata kelola yang baik oleh asuransi sosial khususnya pengawasan dan investasi mengingat jumlah aset yang dikelola semakin besar dan situasi ini menimbulkan tantangan yang tidak mudah. "Tidak sedikit negara berkembang yang gagal menjaga industri asuransi sosial yang berakibat pada kegagalan," pungkas dia. Suminto menambahkan, dengan tata kelola yang baik diyakini asuransi sosial mendapat kepercayaan masyarakat dan berkembang dengan baik. Yang perlu mendapat perhatian bagi asuransi sosial adalah kualitas layanan. Tentu diharapkan kualitas layanan yang terus meningkat dari waktu ke waktu.
"Kita mengharapkan penyelenggara juga memiliki komitmen yang sama. Pemerintah dan badan penyelenggara perlu mewujudkan pelayanan terbaik bagi peserta dan masyarakat, tentunya harus melakukan review dan perbaikan secara terus menerus dari waktu ke waktu," imbuhnya.
Iuran dan Layanan. Sementara itu, Andra Sabta, Direktur Pengawasan Dana Pensiun dan BPJS Ketenagakerjaan OJK, dalam paparannya menyoroti dari sisi kepesertaan. Dia menilai sebagian masyarakat belum masuk dalam sistem jaminan sosial. Bahkan, yang sudah terdaftar pun, sistem baru menyediakan jumlah dan jenis jaminan yang minimal. 


"Sebelum terjadi pandemi Covid-19, sudah terdapat masalah klasik yang dialami asuransi wajib dan asuransi jaminan sosial seperti tantangan meningkatkan cakupan kepesertaan. Itu sudah terjadi sebelum Covid, kemudian saat Covid peserta terus menurun terutama program JKK, JKM untuk BPJS Ketenagakerjaan dan program JKN untuk BPJS Kesehatan," papar Andra. Masalah selanjutnya menurut Andra adalah kolektibilitas iuran yang rendah sudah terjadi sebelum Covid, dan bahkan setelah Covid semakin menurun terutama BPJS Kesehatan. Masalah lainnya adalah prosedur pelayanan peserta yang masih perlu peningkatan dan ini mendapat tantangan saat Covid. Kendati prosedur yang menggunakan platform digital telah dikembangkan BPJS Kesehatan dan BPJS TK,  Jasaraharja, Taspen, Asabri. Semuanya memiliki program yang spesifik dengan nama masing-masing. 


Menurut Andra saat ini ada tantangan tambahan yang mempengaruhi asuransi wajib BPJS Kesehatan dan BPJS TK serta asuransi sosial, yaitu dalam hal penyediaan layanan kesehatan dengan segera untuk merawat yang tertular Covi-19, sehingga kemungkinan terjadi klaim kesehatan, perlambatan kegiatan operasional dan dampak pada banyaknya PHK yang meningkatkan klaim JHT, dan adanya perubahan iklim investasi yang menyebabkan volatilitas harga di pasar modal dan penurunan tingkat bunga di pasar uang sehingga menyebabkan penurunan hasil investasi yang dimiliki asuransi wajib dan sosial. Andra menyebutkan, total aset BPJS Kesehatan pada Agustus 2020 mencapai Rp5,9 triliun, tumbuh sebesar 349% dari tahun sebelumnya.  Namun sebagian besar aset adalah piutang iuran, serta kas yang masing-masing mencapai 53% dan 46% dari total aset BPJS Kesehatan per 31 Agustus 2020.

Sementata total aset BPJS Ketenagakerjaan pada Agustus 2020, mencapai Rp 465 triliun, meningkat sebesar 47,2 persen jika dibandingkan akhir tahun 2019. Pada Maret sampai Juni 2020, aset kelolaan BPJS TK sempat menurun, terkena imbas penurunan IHSG. Dari lini asuransi sosial Asabri, Jasa Raharja dan Taspen, pada Agustus 2020 gabungan total aset pengelola asuransi sosial mencapai Rp 443 triliun dan, kenaikan sebesar 3,17 persen jika dibandingkan akhir tahun 2019.

BPJS Kesehatan memiliki porsi investasi pendapatan tetap dari investasi sekitar 67%. BPJS TK proporsi pendapatan tetapnya 76%, dan Asabri Jasaraharja, Taspen 77%.
"Namun perlu dicermati, pada penempatan investasi dengan investasi berupa bunga akan dihadapkan pada risiko penurunan hasil investasi sebagai pengaruh dari penurunan suku bunga terkait upaya otoritas moneter untuk mendorong pemulihan perekonomian," jelas Andra. 


Tata Kelola Untuk itu, Andra mengingatkan pentingnya  manajemen risiko dalam pengelolaan asuransi yang harus diterapkan dengan prinsip kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. 'Kata kehati-hatian adalah sesuatu bentuk amanat perwujudan manajemen risiko dengan prinsip kehati hatian maka pengelolaan BPJS dan asuransi sosial harus dilakukan dengan analisis yang baik dan profesional dan berintegritas dan dapat dipertanggungjawabkan," tegasnya. OJK selaku pengawas menaruh perhatian besar pada tata kelola pengelolaan asuransi wajib dan sosial karena tanggung jawab moral untuk menjamin terpenuhinya hak peserta dan rekan bagi pemerintah mengambil kebijakan dalam rangka terus meningkatkan kualitas pelayanan. OJK juga menghimbau asuransi wajib dan sosial untuk memperkuat sistem informasi teknologi dalam melakukan verifikasi klaim dan pemutakhiran data kepesertaan.


Terkait tata kelola, Wahyu Wibowo, Direktur Manajemen Risiko dan Teknologi Informasi PT Jasa Raharja mengatakan pihaknya telah mengalami banyak transformasi dalam rangka meningkatkan GCG. Pelayanan juga terus ditingkatkan sehingga manfaat dapat menjangkau masyarakat secara luas. 
Dia mengatakan pada 2019, manfaat yang disalurkan Jasa Raharja mencapai Rp 2,7 triliun. 'Kebanyakan korbannya pelajar dan mahasiswa yang mendapat santunan. Laki-laki 67% dan wanita 33%," urainya.


Sementara Antonius N.S. Kosasih Direktur Utama PT Taspen menjelaskan, Taspen juga sangat ketat menjalankan GCG dan manajemen risiko sehingga kinerja perusahaan tetap tumbuh. Dia mengungkapkan, kendati terdapat 57 kantor cabang dan 16.000 titik layanan yang digerakan oleh 1.607 karyawan, Taspen tetap harus melayani penerima manfaat melalui teknologi, karena jumlah peserta saat ini mencapai 6.8 juta.


Ke depan, lanjut Antonius, pemerintah  akan mereformasi sistem pensiunan, sehingga fungsi Taspen menjadi 3 in 1, yakni mengelola dana pensiun pemerintah, investasi pemerintah, dan asuransi sosial. 'Kedepannya Taspen akan menjadi konglomerasi bisnis yang akan tetap pada sektor keuangan. Kita punya perusahaan asuransi sekarang Taspen Life, perusahaan properti,  dan bank Mantap (Mandiri Taspen)," sebutnya.


Untuk itu, lanjutnya, Taspen berpatokan pada 3 pilar penerapan GCG. Dalam implementasinya, Taspen menerapkan kontrol melalui whistleblowing system, code of conduct, GCG manual, dan juga pedoman gratifikasi. "Target kami di 2023 sudah menjadi benchmark GCG untuk penerapan manajemen risiko, itu yang kami harapkan kedepannya," jelasnya.